Nikmat Dunia Merupakan Ujian Yang Lebih Berat Dibanding Kesengsaraan Hidup
Allah Subhanahu wa Ta’ala di banyak ayat Al-Qur’an telah menegaskan, demikian pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di sekian haditsnya, bahwa nikmat dan kesenangan duniawi merupakan ujian bagi hamba sebagaimana kesengsaraan hidup juga dijadikan cobaan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya) dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (Al-Anbiya’: 35)
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata menafsirkan ayat ini: “(Kami uji kalian) dengan kesusahan dan kesenangan, dengan sehat dan sakit, dengan kekayaan dan kefakiran, serta dengan yang halal dan yang haram. Semuanya adalah ujian.”
Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman: “Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: ‘Rabbku telah memuliakanku.’ Adapun bila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: ‘Rabbku menghinakanku.’ Sekali-kali tidak (demikian).” (Al-Fajr: 15-17)
Perhatikanlah ayat-ayat ini, bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala menguji hamba-Nya dengan memberikan kemuliaan, nikmat, dan keluasan rezeki, sebagaimana pula Allah Subhanahu wa Ta’ala mengujinya dengan menyempitkan rezeki. Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingkari orang yang menyangka bahwa diluaskannya rezeki seorang hamba merupakan bukti pemuliaan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya dan bahwa disempitkannya rezeki adalah bentuk dihinakannya hamba.
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingkari dengan mengatakan “Sekali-kali tidak”, yakni bahwa perkara yang sebenarnya tidak seperti yang diucapkan oleh (sebagian) orang. Bahkan Aku (Allah Subhanahu wa Ta’ala) terkadang menguji dengan nikmat-Ku, sebagaimana terkadang Aku memberi nikmat dengan cobaan-Ku.
Di sana juga masih banyak ayat yang semakna dengan yang telah disebutkan. Misalnya:
“Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.” (Al-An’am: 165)
Juga firman-Nya:
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik amalannya.” (Al-Kahfi: 7) [lihat ‘Uddatush Shabirin, karya Ibnul Qayyim rahimahullahu hal. 247-248, cet. Darul Yaqin]
Nikmat Harta dan Anak Merupakan Ujian Yang Berat
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). Katakanlah: ‘Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?’ Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Rabb mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) istri-istri yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.” (Ali ‘Imran: 14-15)
Kebahagiaan dunia berupa harta dan anak tidaklah sempurna jika tidak dibarengi iman dan amal shalih yang akan menunjang kehidupan dan kebahagiaan dunia serta akhiratnya. Oleh karenanya, bagi seorang mukmin, kehidupan akhirat jauh lebih penting dan lebih utama daripada kehidupan dunia. Sehingga kesenangan yang dia rasakan di dunia tidak akan menjadi penyebab kelalaiannya untuk mengejar kehidupan yang lebih kekal dan kebahagiaan yang bersifat abadi di akhirat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabbmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (Al-Kahfi: 46)
Asy-Syinqithi rahimahullahu menerangkan: “Yang dimaksud ayat yang mulia ini adalah peringatan kepada manusia agar senantiasa beramal shalih, agar mereka tidak tersibukkan dengan perhiasan kehidupan dunia berupa harta dan anak-anak, dari sesuatu yang memberi manfaat kepada mereka di akhirat di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala berupa amalan-amalan yang shalih.” (Adhwa`ul Bayan, 4/80, cetakan Darul Hadits, Kairo)
Sehingga pada hakikatnya, di balik kesenangan dan kebahagiaan mendapatkan harta dan anak, keduanya merupakan ujian yang apabila seorang hamba tidak memanfaatkannya dengan baik maka dapat menyebabkan kebinasaan dan kehancuran kehidupan dunia serta akhiratnya.
Bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara tegas telah menentukan bahwa fitnah (ujian berupa) harta merupakan ujian yang paling berat yang dihadapi oleh umat manusia saat ini, seperti dalam sabdanya :
“Sesungguhnya bagi tiap umat ada fitnah (ujian yang menyesatkan), dan fitnah (ujian) umatku adalah harta.” (HR. At-Tirmidzi no. 2336, dishahihkan oleh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahihul Jami’ no. 2148).
Sisi Nikmat dari Suatu Musibah
Sufyan rahimahullahu mengatakan: “Bukan termasuk yang mendalam ilmunya bila seseorang tidak menganggap bala (musibah) sebagai nikmat dan kenikmatan sebagai cobaan.” (lihat ‘Uddatush Shabirin hal. 211)
Musibah dianggap sebagai nikmat karena musibah yang menimpa seorang mukmin adakalanya sebagai penghapus dosa yang dilakukannya, atau untuk meninggikan derajatnya, atau sebagai cambuk peringatan agar dia kembali ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Hikmah dibalik sakit dan musibah diterangkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dimana beliau bersabda: “Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit dan sejenisnya, melainkan Allah akan menggugurkan bersamanya dosa-dosanya seperti pohon yang menggugurkan daun-daunnya”. (HR. Bukhari no. 5660 dan Muslim no. 2571).
“Tidaklah seseorang muslim ditimpa keletihan, penyakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, kegundah-gulanan hingga duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapuskan sebagian dari kesalahan-kesalahannya”. (HR. Bukhari no. 5641).
“Tidaklah menimpa seorang mukmin rasa sakit yang terus menerus, kepayahan, penyakit, dan juga kesedihan, bahkan sampai kesusahan yang menyusahkannya, melainkan akan dihapuskan dengan dosa-dosanya”. (HR. Muslim no. 2573).
Untuk mendapatkan nikmat penghapusan dosa sebagai hikmah suatu musibah, manusia disyaratkan untuk bersabar dalam menghadapi ujian musibah tersebut, sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda. “Wahai anak Adam, jika engkau sabar dan mencari keridhoan pada saat musibah yang pertama, maka Aku tidak meridhoi pahalamu melainkan surga”. (HR. Ibnu Majah no.1597, dihasankan oleh Syeikh Albani dalam Shohih Ibnu Majah : I/266).
Sumber : disadur dari beberapa sumber, antara lain tulisan Al-Ustadz Abu Muhammad AbdulMu’thi, Lc dan tulisan Al-Ustadz Abu Karimah ‘Askari bin Jamal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar